Jumat, 25 Desember 2009

ekonomi teknik

Pengertian cashflow dan penyusunannya

Cash flow (aliran kas) merupakan “sejumlah uang kas yang keluar dan yang masuk sebagai akibat dari aktivitas perusahaan dengan kata lain adalah aliran kas yang terdiri dari aliran masuk dalam perusahaan dan aliran kas keluar perusahaan serta berapa saldonya setiap periode.

Hal utama yang perlu selalu diperhatikan yang mendasari dalam mengatur arus kas adalah memahami dengan jelas fungsi dana/uang yang kita miliki, kita simpan atau investasikan. Secara sederhana fungsi itu terbagi menjadi tiga yaitu

Pertama, fungsi likuiditas, yaitu dana yang tersedia untuk tujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dapat dicairkan dalam waktu singkat relatif tanpa ada pengurangan investasi awal

Kedua, fungsi anti inflasi, dana yang disimpan guna menghindari resiko penurunan pada daya beli di masa datang yang dapat dicairkan dengan relatif cepat.

Ketiga,capital growth, dana yang diperuntukkan untuk penambahan/perkembangan kekayaan dengan jangka waktu relatif panjang..

Aliran kas yang berhubungan dengan suatu proyek dapat di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:

a) Aliran kas awal (Initial Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan pengeluaran untuk kegiatan investasi misalnya; pembelian tanah, gedung, biaya pendahuluan dsb. Aliran kas awal dapat dikatakan aliran kas keluar (cash out flow)

b) Aliran kas operasional (Operational Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan operasional proyek seperti; penjualan, biaya umum, dan administrasi. Oleh sebab itu aliran kas operasional merupakan aliran kas masuk (cash in flow) dan aliran kas keluar (cash out flow).

c) Aliran kas akhir (Terminal Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan nilai sisa proyek (nilai residu) seperti sisa modal kerja, nilai sisa proyek yaitu penjualan peralatan proyek.

KETERBATASAN
Cash flow mempunyai beberapa keterbatasan-keterbatasan antara lain;
a) Komposisi penerimaan dan pengeluaran yang dimasukan dalam cash flow hanya yang bersifat tunai.
b) Perusahaan hanya berpusat pada target yang mungkin kurang fleksibel
c) Apabila terdapat perubahan pada situasi internal maupun eksternal dari perusahaan yang dapat mempengaruhi estimasi arus kas masuk dan keluar yang seharusnya diperhatikan, maka akan terhambat karena manager hanya akan terfokus pada budget kas misalnya; kondisi ekonomi yang kurang stabil, terlambatnya customer dalam memenuhi kewajibanya.

MANFAAT
Adapun kegunaan dalam menyusun estimasi cash flow dalam perusahaan sangat berguna bagi beberapa pihak terutama manajement. Diantaranya:
1) Memberikan seluruh rencana penerimaan kas yang berhubungan dengan rencana keuangan perusahaan dan transaksi yang menyebabkan perubahan kas.
2) Sebagian dasar untuk menaksir kebutuhan dana untuk masa yang akan datang dan memperkirakan jangka waktu pengembalian kredit.
3) Membantu menager untuk mengambil keputusan kebijakan financial.
4) Untuk kreditur dapat melihat kemampuan perusahaan untuk membayar kredit yang diberikan kepadanya

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN

Ada empat langka dalam penyusunan cash flow, yaitu :
1. Menentukan minimum kas
2. Menyusun estimasi penerimaan dan pengeluaran
3. Menyusun perkiraan kebutuhan dana dari hutang yang dibutuhkan untuk menutupi deficit kas dan membayar kembali pinjaman dari pihak ketiga.
4. Menyusun kembali keseluruhan penerimaan dan pengeluaran setelah adanya transaksi financial dan budget kas yang final.

Konsep nilai waktu dari nuang (time value of money) & ekivalensi perumusan bunga

Konsep Dasar :

Bahwa setiap individu berpendapat bahwa nilai uang saat ini lebih berharga daripada nanti.

Sejumlah uang yang akan diterima dari hasil investasi pada akhir tahun, kalau kita memperhatikan nilai waktu uang, maka nilainya akan lebih rendah pada akhir tahun depan.

Jika kita tidak memperhatikan nilai waktu dari uang, maka uang yang akan kita terima pada akhir tahun depan adalah sama nilainya yang kita miliki sekarang.

Ø Pemahaman konsep nilai waktu uang diperlukan oleh manajer keuangan dalam mengambil keputusan ketika akan melakukan investasi pada suatu aktiva dan pengambilan keputusan ketika akan menentukan sumber dana pinjaman yang akan dipilih.

Ø Suatu jumlah uang tertentu yang diterima waktu yang akan datang jika dinilai sekarang maka jumlah uang tersebut harus didiskon dengan tingkat bunga tertentu (discount factor).

Ø Suatu jumlah uang tertentu saat ini dinilai untuk waktu yang akan datang maka jumlah uang tersebut harus digandakan dengan tingkat bunga tertentu ( Compound factor)

Dalam literatur investasi konsep ini merupakan konsep paling dasar. Banyak buku, jurnal, sampai media massa yang membahasnya, tapi isinya tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Bahasan di sini dimaksudkan sebagai bentuk pencerahan dan pengingat (reminding) betapa pentingnya membentuk perilaku investasi.

Secara sederhana, konsep ini bicara bahwa nilai uang satu juta yang Anda punya sekarang tidak sama dengan satu juta pada sepuluh tahun yang lalu atau sepuluh tahun kemudian. Jika sepuluh tahun lalu dengan satu juta, Anda bisa membeli satu motor Honda produk PT Astra International Tbk (ASII). Maka sekarang dengan jumlah uang yang sama hanya bisa membeli dua rodanya saja. Sepuluh tahun kemudian, uang satu juta tadi mungkin hanya bisa untuk membeli helm motor saja.

Begitulah sifat uang. Itulah yang disebut dengan konsep: nilai waktu dari uang, yang istilah kerennya disebut dengan time value of money. Sebuah konsep yang sangat sederhana sekali namun dalam implementasi dan pengembangannya mampu melahirkan banyak produk investasi dan sekaligus strategi investasi.

Konsep ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa jika Anda punya uang sebaiknya -bahkan seharusnya- diinvestasikan sehingga nilai uang itu tidak menyusut dimakan waktu. Sebab, jika uang itu didiamkan, ditaruh di bawah bantal, brankas, atau lemari besi maka uang itu tidak bekerja dan karenanya nilainya semakin lama semakin turun.

Apapun jenis atau pilihan investasinya, yang penting harus ada upaya mengarah ke sana. Pemilik uang tinggal menentukan pilihan investasi sesuai dengan karakternya masing-masing. Bagi pemilik modal atau pemodal yang maunya aman-aman saja, tidak suka risiko (risk averter), maka bisa memilih jenis investasi deposito atau instrumen investasi lainnya yang risikonya kecil seperti emas atau tanah.

Bagi pemodal yang menyukai tantangan atau risiko (risk taker) maka dia bisa memilih jenis instrumen yang menjanjikan pertumbuhan tinggi, dengan risiko yang juga tinggi, seperti saham.

Dengan konsep time value of money, pemodal bisa memprediksi berapa nilai uangnya pada masa mendatang, berapa pertumbuhan setiap tahunnya. Apakah pertumbuhan uangnya itu seimbang dengan laju inflasi setiap tahun atau tidak? Jika pertumbuhan imbal hasil investasi masih lebih rendah dibandingkan laju inflasi maka berarti pertumbuhan uang pemodal masih ketinggalan dibanding peningkatan harga barang. Jika uang Anda hanya tumbuh tujuh persen setahun, sementara pertumbuhan harga barang (inflasi) mencapai sembilan persen setahun maka sebenarnya uang Anda masih mengalami penyusutan dibandingkan nilai barang.

Kembali ke ilustrasi Honda di atas. Misalkan, saat ini harga sebuah motor Honda Rp10 juta. Satu tahun ke depan, harga motor Honda naik sembilan persen menjadi Rp10.900.000. Sementara, uang Anda Rp10 juta yang diinvestasikan di deposito hanya menghasilkan tujuh persen menjadi Rp10.700.000. Artinya, jika diinvestasikan di deposito dengan bunga tujuh persen, maka tahun depan uang Anda tidak cukup untuk membeli satu motor Honda. Karena itu agar uang Anda tetap bisa untuk membeli motor Honda harus diinvestasikan pada instrumen investasi yang hasilnya lebih dari sembilan persen setahun. Anda mungkin memerlukan riset, strategi investasi dan juga keberanian untuk mengelola risiko.

Sebaliknya, jika pemodal berhasil mengelola investasi dengan imbal hasil 20 persen per tahun misalnya, maka nilai uang yang dimiliki semakin tinggi. Dengan imbal hasil sebesar itu, pemodal tidak hanya masih bisa membeli satu motor Honda, tetapi masih ada kelebihan uang untuk membeli aksesoris lainnya.

Nah, jika investor mampu menghasilkan imbal hasil cukup tinggi dengan stabil setiap tahun, maka dia bisa memprediksi berapa nilai kekayaan yang dikumpulkan pada masa mendatang. Andai diasumsikan imbal hasil stabil di kisaran 20 persen per tahun, maka dengan konsep time value of money, investor bisa menghitung pertumbuhan uangnya.

Jika yang diinvestasikan Rp100 juta, maka pada akhir tahun pertama akan menjadi Rp120 juta, pada akhir tahun ke dua naik lagi menjadi Rp144 juta, pada akhir tahun ke tiga tumbuh lagi menjadi Rp172,8 juta. Begitu seterusnya mengikuti formula time value of money

Pengertian Rate of Return, perhitungan & penerapannya

Metode ini untuk membuat peringkat usulan investasi dengan menggunakan tingkat pengembalian atas investasi yang dihitung dengan mencari tingkat diskonto yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas masuk proyek yang diharapkan terhadap nilai sekarang biaya proyek atau sama dengan tingkat diskonto yang membuat NPV sama dengan nol.

RUMUS!

Apabila Ao adalah investasi pada periode 0 dan A1 sampai An adalah aliran bersih dari periode 1 sampai n, maka metode IRR semata mata mencari discount factor yang menyamakan A0 dengan A1 sampai An

Penerimaan atau penolakan usulan investasi ini adalah dengan membandingkan IRR dengan tingkat bunga yang disyaratkan (required rate of return). Apabila IRR lebih besar dari pada tingkat bunga yang disyaratkan maka proyek tersebut diterima, apabila lebih kecil diterima.

Kelemahan secara mendasar menurut teori memang hampir tidak ada, namun dalam praktek penghitungan untuk menentukan IRR tersebut masih memerlukan penghitungan NPV

Internal Rate of Return (IRR)

Ukuran kedua yang sering digunakan dalam analisis manfaat finansial adalah internal rate of return (IRR) atau tingkat pengembaliandari investasi. IRR menunjukan tingkat discount rate atau tingkat keuntungan dari investasi yang menghasilkan NPV sama dengan nol.

Untuk mengitung IRR digunakan rumus sebagai berikut:

RUMUS

Kriteria penilain digunakan tingkat bunga bank. Jadi, jika IRR ??tingkat bunga bank, maka usaha yang direncanakan atau yang diusulan layak untuk dilaksanakan, dan jika sebaliknya usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.

Internal Rate of Return (IRR)

Teknik perhitungan dengan IRR banyak digunakan dalam suatu analisis investasi, namun relatif sulit untuk ditentukan karena untuk mendapatkan nilai yang akan dihitung diperlukan suatu 'trial and error' hingga pada akhirnya diperoleh tingkat bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol. IRR dapat didefinisikan sebagai tingkat bunga yang akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai.

Dengan kata lain, IRR adalah tingkat bunga yang akan menyebabkan NPV sama dengan nol, karena present value cash inflow pada tingkat bunga tersebut akan sama dengan initial investment. Suatu usulan proyek investasi akan ditetima jika IRR > cost of capital dan akan ditolak jika IRR <>

Menurut Arifin dan Fauzi (1999:13) bahwa: Adapun langkah-langkah menghitung IRR untuk pola cash flow yang sama adalah sebagai beiikut:

a. Hitung besarnya payback period untuk proyek yang sedang dievaluasi.

b. Gunakan tabel discount factor, dan pada baris umur proyek, cari angka yang sama

atau mendekati dengan hasil payback period pada langkah 1 di atas. IRR terletak pada persentase terdekat hasil yang diperoleh.

c. Untuk mendapatkan nilai IRR yang sesungguhnya dapat ditempuh dengan menggunakan interpolasi.

Sedangkan untuk proyek yang memiliki pola cash inflow yang tidak seragam, dapat diselesaikan dengan langkah-langkah berikut:

a) Hitung rata-rata cash inflow per tahun

b) Bagi initial investment dengan rata-rata cash inflow untuk mengetahui "estimasi" payback period dari proyek yang sedang dievaluasi.

c) Gunakan tabel discount factor untuk menghitung besarnya IRR, seperti langkah ke-2 dalam menghitung IRR untuk pola cash flow yang berbentuk seragam (anuitas). Hasil yang diperoleh akan merupakan "perkiraan IRR'.

d) Selanjutnya sesuaikan IRR yang diperoleh pada langkah ke-3 di atas, yaitu diperbesar atau diperkecil, ke dalam pola cash flow yang sesungguhnya. Apabila cash inflow yang sesungguhnya dalam tahun-tahun pertama temyata lebih besar dari rata-rata yang diperoleh dalam langkah ke 1 di atas, maka perbesarlah tingkat discount yang digunakan, dan apabila sebaliknya maka perkecillah discount tersebut.

e) Dari hasil discount rate yang diperoleh pada langkah ke-4, kernudian hitunglah NPV dari

proyek tersebut.

f) Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari nol, maka naikkanlah discount rate yang digunakan, dan apabila sebaliknya maka turunkanlah discount rate tersebut.

g) Hitunglah kembali NPV dengan menggunakan discount rate yang baru, sampai akhirnya diperoleh discount rate yang secara berurutan menghasilkan NPV yang positif dan negatif.

Dengan jalan interpolasi akan ditemukan nilai IRR yang sesungguhnya.

Setelah IRR diketahui langkah selanjutnya adalah membandingkan IRR dengan cost of capital. Apabila IRR lebih besar dari pada cost of capital maka rencana investasi dapat diterima karena menguntungkan dan sebaliknya apabila IRR lebih kecil dari pada cost of capital maka rencana investasi ditolak karena merugikan

sumber : engineerin economy, E paul DeGarmo, 1973


Selasa, 22 Desember 2009

masalah masalah kelistrikan

  • 1. Pemadaman Listrik di Indonesia

Pemadaman listrik di berbagai daerah telah menjadi hal yang biasa di Indonesia, dan masyarakat [hampir] terbiasa mengalaminya. Keterbiasaan ini disebabkan karena seringnya pemadaman listrik terjadi. Di Medan misalnya, pemadaman sudah berjalan bertahun-tahun, di Jakarta dan kemudian di seluruh pulau Jawa dan Bali, terjadi pemadaman dengan berbagai alasan, seperti kekurangan pasokan bahan bakar, cuaca buruk, gangguan pembangkit dan sebagainya. Ketika mula-mula terjadi pemadaman semua orang ribut dan protes, tetapi karena sudah sering terjadi orang menjadi terbiasa dan orang-orang akan diam, tanpa menyadari bahwa ia mengalami kerugian yang besar dan akhirnya usahanya akan bangkrut.

Hal ini menjadikan masyarakat seakan mengalami sindrom katak di air panas, apabila seekor katak dimasukkan ke dalam air yang mendidih maka ia akan melompat keluar karena kepanasan, tetapi apabila sang katak dimasukkan ke air dingin maka ia akan berenang dengan senang, kemudian bila air dipanaskan secara perlahan si katak akan terus berenang tanpa menyadari air semakin panas karena merasa sudah biasa, dan akan terus berenang sampai air itu mendidih dan tanpa terasa si katak akan mati kepanasan.

Pemadaman listrik ini sangat merugikan baik bagi pengguna rumah tangga, demikian pula bagi industri dan gangguan pasokan listrik bagi industri jelas membawa dampak yang buruk bagi investor asing yang masuk ke Indonesia.

  • 2. PLN dan Monopoli

Listrik masih dipandang sebagai industri yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, sehingga pemerintah tetap memandang perlu listrik dikelola secara monopoli, oleh BUMN.

Pengelolaan suatu cabang industri oleh BUMN adalah dengan tujuan untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak dan dengan pertimbangan bahwa BUMN dapat menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.

Dengan terjadinya krisis listrik yang berulang-ulang di Indonesia, sepertinya perlu dikaji kembali tujuan pengelolaan listrik oleh PLN sebagai sebuah BUMN, apakah benar PLN telah menyediakan pasokan listrik yang “bermutu tinggi” bagi pemenuhan hajat hidupp orang banyak, dan apakah kegiatan usaha perlistrikan sampai sekarang belum dapat dilaksanakan oleh swasta dan koperasi?

  • 3. Perlukah Listrik Dikelola Secara Terpusat

Pengelolaan kelistrikan di Indonesia yang dilakukan secara terpusat oleh satu BUMN, menyebabkan panjangnya rentang kendali di perusahaan itu. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya bagi cabang perusahaan itu yang ada di daerah untuk mendapat persetujuan pengadaan sesuai dengan kebutuhan di daerahnya. Hal tersebut terjadi di daerah Medan, dimana pembangkit listrik yang ada di wilayah Medan mensuplai sampaike daerah sekitarnya sehingga ketika terjadi kerusakan pembangkit, maka bukan hanya Medan yang mengalami pemadamna tetapi juga daerah sekitarnya. Demikian pula di Jawa dan Bali, gangguan yang terjadi di Jawa bukan hanya berpengaruhi atas suplai listrik di pulau Jawa tetapi juga ke Bali.

Demikian pula apabila kita perhatikan betapa ruwetnya saluran tegangan tinggi yang malang melintang di seluruh pulau Jawa dari ujung ke ujung pulau, yang juga telah memakan korban yang tidak sedikit. Padahal untuk listrik tidak diperlukan adanya interkoneksi antara daerah sebagaimana diperlukan di sektor telekomunikasi (dengan adanya kebutuhan pengguna telekomunikasi di satu daerah atau di satu operator untuk berhubungan dengan pengguna lain di daerah atau dengan mengunakan operator lain). Karena listrik di satu daerah tidak harus terhubung dengan daerah lainnya, maka sebenarnya secara fungsi antara daerah atau antar pembangkit listrik lain daerah tidak diharuskan adanya interkoneksi.

Dengan demikian, listrik dapat saja dikelola oleh masing-masing daerah tanpa perlu adanya suatu perusahaan yang terpusat. Untuk menjaga agar tetap dapat memenuhi hajat hidup orang banyak, yang diperlukan hanyalah fungsi Pemerintah dalam pengawasan, tidak harus dalam pengelolaan langsung.


http://pihilawyers.com/blog/?p=27

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEKTOR TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA

Umum

Keterbelakangan dan kemiskinan yang melanda Indonesia tidak terlepas dari tekanan dan pengaruh yang datang dari dalam dan dari luar negeri. Tekanan tersebut menyebabkan sulitnya Indonesia melepaskan label negara miskin. Hal ini diperparah dengan terjadinya penyimpangan di segala bidang sehingga Indonesia menjadi negara terkorup di dunia. Di bawah ini disajikan kajian tentang pengaruh-pengaruh yang di alami oleh Indonesia.

Pengaruh Dalam Negeri

Pengaruh yang datang dari dalam negeri sendiri adalah berupa adanya peraturan perundang-undangan yang disusun oleh lembaga pembuat undang-undang, dan juga dari situasi politik yang tidak stabil, serta adanya krisis ekonomi yang berlanjut menjadi krisis multi-dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997. meskipun disadari bahwa pengaruh dari dalam negeri ini juga tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari pengaruh yang datang dari luar negeri, keduanya adalah saling berkaitan.

Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi dimulai dengan krisis moneter pada tahun 1997, dimana nilai mata uang rupiah turun secara sangat signifikan dibanding dengan nilai mata uang dollar Amerika Serikat. Turunnya nilai mata uang rupiah diikuti dengan berbagai akibatnya antara lain rusaknya sistem perekonomian, perdagangan dan impor-ekspor Indonesia. Para pengusaha tidak dapat lagi menjalankan bisnisnya secara normal, dan bahkan banyak yang terpaksa menutup usahanya. Runtuhnya perekonomian Indonesia membawa dampak kepada keterpurukan sehingga Indonesia tidak lagi mampu membiayai anggaran belanjanya dan terpaksa meminta bantuan dari lembaga internasional (World Bank, IMF, dll). Bantuan dan/ atau pinjaman tersebut menambah ketergantungan Indonesia kepada pihak asing.[1]

Situasi Politik

Situasi politik Indonesia sejak terjadinya kerusuhan karena terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang mencapai puncaknya pada pergantian presiden Soeharto, dan berlanjut dengan gonjang-ganjing politik yang tidak hentinya, membuat keterpurukan yang semakin parah di Indonesia. Indonesia mencapai rekor pergantian pemimpin yang dalam waktu yang singkat (4 presiden dalam dalam 6 tahun), dan pergantian menteri yang lebih banyak lagi dalam masa pemerintahan yang berganti-ganti itu. Kesemuanya ini tentunya membawa pengaruh yang tidak baik ke bidang perekonomian. Dengan terjadinya ketidakstabilan poltik, iklim usaha juga menjadi tidak pasti, dengan ketidakpastian iklim usaha, bertambah keterpurukan ekonomi, dan menyebabkan pengekalan kedudukan Indonesia di kelompok negara terbelakang.

Memang harus diakui bahwa untuk menjelaskan situasi di Indonesia sekarang ini diperlukan analisis ekonomi-politik agar dapat memprediksi keadaan Indonesia pasca-krisis.[2]

Peraturan Perundang-undangan

Salah satu penyebab keterbelakangan dan kemiskinan adalah kurangnya investasi yang dilakukan di Indonesia. Investasi dapat dilakukan oleh pihak dalam negeri dan dapat pula oleh pihak asing. Berhubung dengan kurangnya sumber daya dan dana dalam negeri, maka investasi yang digiatkan oleh Pemerintah adalah dari luar negeri, untuk itu pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang investasi.

Investasi di Indonesia diatur dengan berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, di antaranya: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970, serta berbagai Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2000 Tentang Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal yang lampirannya telah diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 Tentang Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Pada Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 96 dinyatakan bahwa penetapan bidang usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden tersebut tidak berlaku bagi penanaman modal tidak langsung yang dilaksanakan dengan membeli saham perusahaan yang sudah berdiri melalui pasar modal dalam negeri. Hal ini berarti bahwa pemilik modal asing dapat masuk ke semua sektor dengan kepemilikan seratus persen, termasuk sektor telekomunikasi.

Sektor Usaha Telekomunikasi

Pada tahun 1995 PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) diprivatisasi. Perusahaan milik negara ini melakukan Initial Public Offering dengan mencatatkan sahamnya di berbagai bursa dunia, di Indonesia dan di negara lain. Pada waktu yang sama Telkom juga mendapatkan pinjaman dalam jumlah yang cukup besar dari World Bank dengan skema two-step loan yaitu pinjaman tidak langsung melalui Pemerintah Republik Indonesia. Tidak cukup sampai di situ, Telkom juga melakukan Kerjasama Operasional (KSO) dengan beberapa mitra (Mitra KSO) yang merupakan konsorsium perusahaan-perusahaan asing dan domestik.

Bantuan dan Kerjasama

Pinjaman yang diberi oleh World Bank (two-step loan) berjangka waktu sangat panjang sampai dua puluh lima tahun dengan bunga yang rendah, sehingga dapat dikategorikan bantuan. Pinjaman two-step loan diberikan dengan persyaratan yang lunak dan jangka waktu yang sangat panjang. Pinjaman tersebut tidak langsung diberikan kepada Telkom, namun lewat pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, di sisi lain, Menteri Keuangan adalah pemegang saham Telkom. Dengan menerima pinjaman tersebut, pemerintah menerima margin bunga (selisih bunga yang ditetapkan oleh lender dengan bunga yang dibayar oleh Telkom).

Selanjutnya pemerintah merancang skim kerjasama operasional (KSO) antara Telkom dengan konsorsium investor yang di antaranya wajib ada investor yang berasal dari negara pemberi pinjaman. Untuk menjalankan skim KSO tersebut Telkom dipecah menjadi beberapa wilayah regional dan hanya dua wilayah yang disisakan untuk dikelola oleh Telkom. Kerjasama Operasional antara Telkom dengan para Mitra KSO dilakukan dengan tujuan untuk membantu Telkom membangun 7 juta satuan sambungan sampai dengan akhir Pelita VI, di samping mendukung peningkatan agar Telkom menjadi World Class Operator.

KSO diharapkan untuk mempercepat pembangunan sektor telekomunikasi dan membawa Telkom menjadi operator kelas dunia (world class operator). Namun, yang terjadi adalah bahwa para investor yang diharapkan membawa dana segar untuk diinvestasikan di sektor telekomunikasi di Indonesia, ternyata hanya bertindak sebagai agen semata dari para lender yang memback-upnya, sehingga ketika terjadi krisis, tidak satupun konsorsium investor yang menjadi mitra KSO dapat mencapai target pembangunannya dan cita-cita world class operator tidak pernah tercapai.

Apabila diteliti lebih dalam maka tampak bahwa skim KSO merupakan skim yang diciptakan untuk memecah perusahaan telekomunikasi milik pemerintah tersebut, karena dengan dipecah menjadi beberapa wilayah regional, maka akan lebih mudah bagi pihak asing untuk melakukan take over, dan hal tersebut telah beberapa kali diajukan oleh pihak investor bahwa skim yang terbaik untuk mengatasi krisis yang dialami mitra KSO adalah dengan memkonversi wilayah-wilayah KSO menjadi perusahaan-perusahaan baru yang terpisah sama sekali dengan Telkom. Apabali hal itu terlaksana maka sektor telekomunikasi akan dikuasai oleh pihak asing.

Oleh Karena itu, kegagalan KSO ini dapat pula dipandang sebagai blessing indisguise karena dengan kegagalan tersebut Telkom dapat mengkonsolidasikan kembali wilayahnya yang telah dipecah-pecah karena skim KSO tersebut.

Privatisasi

Privatisasi adalah suatu kata lain dari swastanisasi, yaitu perubahan kepemilikan perusahaan dari semula milik pemerintah menjadi [sebagian atau seluruhnya] milik swasta. Secara teoretis privatisasi dapat dilakukan dengan beberapa alasan, yaitu: Menghimpun dana untuk keperluan pemerintah; Membayar utang Pemerintah; dan Menarik keikutsertaan pihak swasta ke dalam perusahaan yang selama ini dikuasai atau dimiliki oleh pemerintah. Pada tahun 1995 Pemerintah RI sebagai pemilik tunggal Telkom menginstruksikan Telkom untuk melaksanakan IPO. Telkom melaksanakan IPO dengan mencatatkan sahamnya di berbagai bursa, yaitu: Bursa Efek Jakarta, Bursa Efek Surabaya, New York Stock Exchanges, London Stock Exchanges, dan melakukan penawaran saham tanpa pencatatan di Tokyo Stock Exchanges.

Apabila kita lihat kembali peraturan mengenai pembatasan investasi asing di sektor telekomunikasi, maka seperti yang disinggung di atas, sektor ini akan dapat dengan mudah dikuasai asing lewat pasar modal.[5] Karena pembelian saham lewat pasar modal oleh pihak asing di semua sektor tidak dibatasi.


Menkeu: Target Privatisasi BUMN Sulit Tercapai

Menteri Keuangan (Menkeu) dan Pemberdayaan BUMN Prijadi Praptosuhardjo
mengakui, target penerimaan dari privatisasi BUMN sebesar Rp 6,5
trilyun akan sulit dicapai. Sementara itu, untuk RAPBN 2001,
pemerintah menargetkan defisit anggaran bisa ditekan menjadi 3,7
persen, dari sebelumnya 4,8 persen pada APBN 2000.

Prijadi mengemukakan hal itu pada rapat kerja dengan Panitia Anggaran
DPR yang dipimpin Ketua Panitia Anggaran DPR Sukowaluyo Mintorahardjo
di Jakarta, Senin (4/9), dan membahas Rancangan APBN (RAPBN) 2001.
Menurut Menkeu, target privatisasi sulit dicapai, karena prosesnya
dipengaruhi faktor yang tidak dapat dikontrol, antara lain kondisi
sosial politik, keamanan, dan makro-ekonomi yang belum kondusif.

Penyataan Prijadi tentang tidak tercapainya target privatisasi BUMN
itu adalah pengakuan resmi pemerintah yang pertama. Pasalnya, hingga
beberapa hari sebelum diganti, Rozy Munir, yang menjabat sebagai
Menteri Negara Penanaman Modal/Pembinaan BUMN sebelumnya, masih
menyatakan optimis target tersebut akan bisa dicapai, meski-pun banyak
pengamat dan kalangan DPR menyangsikannya.

Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Rizal Ramli pada jumpa pers
di Bappenas, Senin, tetap menyatakan optimis target privatisasi BUMN
untuk tahun ini akan tercapai. Saat dikonfirmasikan bahwa Menkeu
sendiri yang mengatakan target privatisasi BUMN sulit dicapai, Rizal
hanya menjawab, siapa pun boleh-boleh saja menilai seperti itu.

"Saya kira kami akan melakukan seoptimal mungkin. Kasih kami waktu
dong, we'll do that," ujar Rizal Ramli saat ditanya apa yang akan
dilakukan jika target privatisasi BUMN tidak tercapai.

Lebih murah

Kepada anggota Panitia Anggaran DPR, Menkeu mengemukakan, kondisi
sosial politik, keamanan, dan kondisi makro- ekonomi yang belum
kondusif mempengaruhi minat investor dalam proses privatisasi BUMN.
"Jika dengan kondisi yang tidak kondusif tersebut pemerintah tetap
akan melaksanakan privatisasi BUMN, kemungkinan harga saham akan lebih
murah dari yang diperhitungkan semula," kata Prijadi.

Sementara itu, berkaitan dengan privatisasi BUMN, Rizal mengatakan,
privatisasi akan bernilai tambah jika didahului oleh restrukturisasi
industri.

"Di seluruh dunia, saat ini sektor yang paling menarik adalah
telekomunikasi. Kalau kita jual saham telekomunikasi sedikit demi
sedikit, nilai tambahnya tidak besar. Perusahaan telekomunikasi itu
akan kita restrukturisasi, nanti kita jual kepada operator
internasional lewat tender. Jika ini berjalan efektif, memperoleh dana
3 milyar-4 milyar dollar AS dari telekomunikasi bukanlah hal yang
sulit," kata Rizal.

Stimulus fiskal

Sementara mengenai RAPBN 2001, Menkeu mengatakan, untuk mengusahakan
penurunan defisit anggaran dari di bawah lima persen terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) menjadi berimbang atau surplus, dalam penyusunan
RAPBN 2001 pemerintah akan mengupayakan penurunan defisit pada tingkat
yang aman.

Defisit akan diturunkan dari 4,8 persen terhadap PDB dalam APBN 2000
menjadi sekitar 3,7 persen dari PDB pada tahun 2001, sebagaimana
tercantum dalam sasaran proyeksi APBN Tahun Anggaran 2000-2002 dalam
Nota Keuangan dan APBN 2000.

Ditegaskan Menkeu, penurunan defisit anggaran ini menjadi salah satu
fokus kebijakan pengelolaan keuangan negara, yang semula menempuh
kebijakan stimulus (fiscal stimulus), menuju kemampuan fiskal yang
berkelanjutan (fiscal sustainability).

Fokus berikutnya, kata Menkeu, adalah meningkatkan mobilisasi
pembiayaan dalam negeri melalui privatisasi BUMN dan pemulihan aset
program restrukturisasi perbankan. Berbarengan dengan itu, juga akan
dilakukan pengembangan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri baru
berupa obligasi pemerintah yang dipasarkan melalui pengembangan pasar
obligasi pemerintah.

Sedangkan fokus ketiga, pemerintah akan menurunkan secara bertahap
beban pinjaman luar negeri dan rasionya terhadap PDB pada tingkat yang
aman, serta mengelola utang pemerintah secara transparan menuju
tercapainya kesinambungan utang (debts sustainability).

Tantangan utama

Diungkapkan oleh Prijadi, tantangan utama dalam pengelolaan keuangan
negara adalah mewujudkan APBN yang makin sehat dengan mengurangi
defisit anggaran di satu pihak, sementara di lain pihak tetap mampu
mendukung proses pemulihan ekonomi dan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.

"Mengingat pinjaman luar negeri sebagai cara pembiayaan defisit
anggaran, yang selama dua tahun terakhir ini terus membengkak dan
tidak dapat dibiarkan terus-menerus membebani pembayarannya di masa
datang, maka cara terbaik yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan
pengeluaran dengan penerimaan dalam negeri. Sebab itu, akan dilakukan
penggeseran fokus kebijakan pengelolaan keuangan negara," tandasnya.

Tantangan ini, kata dia, akan dicapai melalui peningkatan pendapatan
negara di sektor pendapatan perpajakan maupun pendapatan negara bukan
pajak (PNPB).

Di pihak lain, peningkatan PNBP akan diupayakan dengan identifikasi
dan penyetoran dana-dana yang selama ini belum tercatat secara
transparan dalam APBN ke kas negara. Efektivitas belanja negara juga
akan diusahakan dengan mengurangi secara bertahap beban subsidi,
menekan biaya restrukturisasi perbankan, serta mempertajam prioritas
belanja modal.

Asumsi ekonomi

Asumsi ekonomi untuk RAPBN 2001 yang pernah diajukan pemerintah Mei
2000 lalu, menurut Prijadi, masih relevan digunakan sampai sekarang.

Secara makro-ekonomi, ungkap Prijadi, pertumbuhan ekonomi dalam
semester II 1999/ 2000 (Oktober 1999-Oktober 2000) mencapai 4,09
persen. "Jika kecenderungan ini bisa dipertahankan, maka pertumbuhan
ekonomi tahun 2000 diperkirakan mencapai empat persen atau bahkan
lebih, sehingga lebih tinggi dari perkiraan semula sebesar 3,8
persen," katanya.

Tingkat inflasi Januari-Agustus 2000 mencapai 4,71 persen. Pada
Agustus 2000, tingkat inflasi sebesar 0,51 persen. "Jika kecenderungan
ini terus terjadi, maka tahun ini inflasi mencapai sekitar tujuh
persen. Namun, dengan rencana kenaikan BBM dan hari-hari besar
Desember, inflasi akan lebih tinggi dari tujuh persen," ujarnya.

Nilai tukar rupiah yang cenderung melemah pada akhir Agustus mulai
menguat menjadi sekitar Rp 8.200-Rp 8.300/ dollar AS. Menyangkut harga
minyak di pasar internasional, pada triwulan II tahun 2000 mencapai
26,38 dollar/barrel. Namun, pada tahun sebelumnnya rata-rata hanya
17,47 dollar/barrel, bahkan tahun 1998 hanya 12,28/barrel.

Sedangkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka tiga
bulan per Agustus 2000 mencapai 13,29 persen. "Suku bunga ini relatif
lebih tinggi dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Salah satu faktor
yang mempengaruhinya adalah terjadinya fluktuasi dollar AS yang tidak
terduga sebelumnya," jelasnya.

Revisi inflasi

Secara terpisah, Pjs Gubernur Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution
mengatakan, BI pasti akan merevisi target inflasi karena keadaan
ternyata sudah tidak sesuai lagi. Pada awalnya, BI menargetkan inflasi
tahun ini sebesar 5-7 persen. "Prediksinya antara 7-8 persen, dari
sebelumnya 5-7 persen. Jelas akan direvisi karena faktanya sudah tidak
bisa dipertahankan dan banyak hal yang terjadi di luar dugaan,"
ujarnya.

Namun demikian, Nasution belum dapat memastikan pada angka berapa
revisi tersebut akan diterapkan karena masih banyak hal yang tidak
menentu, seperti pengurangan subsidi BBM. "Mungkin nanti setelah LoI
(letter of intent) ditandatangani dan Menteri Keuangan mengajukan
perubahan RAPBN. Kita tunggu kebijakan pemerintah apa saja yang akan
disubsidi, baru revisi inflasi dapat ditetapkan ," lanjut Nasution.

Selain revisi inflasi, Nasution juga mengatakan, nilai tukar rupiah
terhadap dollar yang sebelumnya dipatok pada level Rp 7.000 per dollar
AS juga harus direvisi. Menurut Nasution, rupiah sewajarnya berada
pada level di bawah Rp 8.000 per dollar AS. Dia juga mengakui, ada
banyak sekali faktor yang perlu dipertimbangkan seperti kondisi
politik. (har/fey/joe/dis)



Date: Mon Sep 04 2000 - 16:26:05 EDT
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0009/05/UTAMA/menk01.htm

Minggu, 20 Desember 2009

CSM Targetkan Laba Bersih US$ 2,2 Juta




PT Citra Sari Makmur (CSM), perusahaan penyedia jasa jaringan komunikasi dan data digital berbasis satelit, kabel dan `wireless`, menargetkan nilai pendapatan tahun 2004 sebesar 39,3 juta dolar AS dan laba bersih 2,2 juta dolar AS.

Presiden Direktur PT CSM, Subagio Wiryo Atmodjo, Selasa, mengutarakan dalam jangka waktu lima tahun atau pada tahun 2009 nilai pendapatan akan meningkat 100 persen menjadi sekitar 79 juta dolar AS seiring dengan kenaikan pelanggan khususnya industri perbankan yang terus meningkatkan pemanfaatan jasa transfer dana elektronik melalui penggunaan kartu debet dan kartu kredit.

Setelah melakukan investasi sebesar 16 juta dolar AS tahun 2003, tahun ini perusahaan juga merencanakan investasi sebesar 7 juta dolar AS untuk dapat memenuhi kenaikan permintaan jasa dari para pelanggan, ujarnya.

Sejak awal pembentukan dan pengoperasiannya, nilai investasi yang telah dilakukan PT SCM telah mencapai 126,1 juta dolar AS dengan nilai aset sekarang ini setelah depresiasi dan amortisasi sebesar 73 juta dolar AS, dan jumlah modal sendiri (ekuitas) sebesar 27,3 juta dolar AS.

Subagio mengungkapkan secara konservatif seperti tahun 2004 perusahaan menargetkan nilai pendapatan tahun 2005 akan meningkat menjadi 47,6 juta dolar AS dan laba bersih 4,5 juta dolar AS.

Belum Tahu

Pada kesempatan yang sama hari Selasa, Subagio menandaskan belum tahun menahu tentang adanya rencana PT Telkom untuk melepas 25 persen sahamnya di dalam PT SCM.

"Namun apabila hal itu betul, maka pemegang saham yang lain mempunyai prioritas utama untuk mengambil-alih saham PT Telkom," katanya.

Setelah pemegang saham mayoritas, Bell Atlantic dari AS, melepas seluruh pemilikan sahamnya di CSM maka susunan pemegang saham perusahaan itu adalah PT Telkom 25 persen, PT Tigatrata Media 38,71 persen, dan PT Media Trio sebesar 36,79 persen.

Subagio mengakui, PT Telkom sebelumnya mempunyai opsi untuk meningkatkan pemilikan sahamnya di PT CSM terutama karena BUMN di bidang telkom itu tidak memiliki divisi satelit seperti jasa yang ditawarkan CSM. Namun belakangan sesuai kesepakatan antara ke dua belah pihak, PT Telkom tidak akan melakukan opsinya sementara CSM akan terus meningkatkan hubungan bisnis untuk memberikan pemasukan yang lebih besar bagi Telkom sebagai pelanggan yang termasuk 5 besar.

Dalam upaya `refinancing`, PT CSM akan menerbitkan Obligasi I PT CSM senilai total Rp350 miliar, yang terdiri dari obligasi konvensional Rp250 miliar dan obligasi Syariah maksimum Rp100 miliar.

Subagio menjelaskan, dana obligasi sebesar Rp250 miliar akan dimanfaatkan untuk melunasi utang kepada Bank Danamon, Bank Niaga, Bank BNI, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri, sementara sisanya sekitar Rp100 miliar untuk meningkatkan modal kerja.

Penerbitan obligasi ini tidak semata dilakukan untuk mengurangi biaya bunga, tapi untuk lebih menjamin ketersediaan dana pinjaman dengan jangka waktu yang lebih lama yakni 5 tahun sesuai dengan jangka waktu jatuh tempo obligasi.

Bank tertentu seperti Bank Bukopin sekarang menawarkan pinjaman dengan tingkat bunga hanya sebesar 13 persen per tahun, dibandingkan dengan kisaran kupon bunga tetap untuk obligasi konvensional sebesar 13,5 sampai 14,5 persen per tahun, demikian Subagio Wiryo Atmodjo. (AN/GM)


http://www.ifsa.or.id/news_detail.php?id=944
19 May 2004 09:00

Perbaikan Gardu Listrik nan Lama



Jakarta lagi heboh listrik byar-pet gara-gara gardu Cawang terbakar. Mengapa PLN perlu punya gardu yang kalau terbakar bisa membuat listrik satu kawasan mati? Mengapa juga bisa terbakar? Mengapa memperbaikinya begitu lama?


Pembangkit listrik yang besar-besar itu umumnya memang jauh dari kota. Karena itu, untuk mengalirkan listrik dari pembangkit ke kota-kota yang jauh tersebut diperlukan ”jalan tol” yang disebut kabel bertegangan supertinggi. Tidak cukup dengan ”jalan kampung” berupa kabel bertegangan 20 kV (seperti kabel yang digunakan di atas atap rumah Anda).


Kalau kabel 20 kV itu yang digunakan, listriknya akan habis menguap di tengah jalan. Pengiriman listrik 1.000 watt barangkali setiba di rumah Anda tinggal 600 watt saja. Karena itu, diperlukan kabel bertegangan tinggi. Lebih baik lagi yang supertinggi. Agar sejumlah listrik yang dibangkitkan bisa sampai ke kota-kota tujuan dalam jumlah yang relatif masih utuh.


Di Indonesia, baru jaringan Jawa- Bali yang menggunakan kabel bertegangan supertinggi itu. Yaitu kabel dengan tegangan 500 kV. Amerika Serikat menggunakan kabel bertegangan 600 kV. Di China sama dengan kita, 500 kV. Hanya, di semua GITET (Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi)-nya memiliki trafo cadangan yang sudah terpasang. Kebetulan sejak tahun 2002 saya rajin ke China untuk mempelajari kelistrikan di sana. Berpuluh-puluh pembangkit di berbagai wilayah di China saya kunjungi. Bahkan, tiga kali ke pembangkit tenaga air terbesar di dunia di Bendungan Sungai Yang Tze itu. Saya juga pernah ke Gurun Ghobi di dekat Ningxia untuk melihat ”hutan” pembangkit listrik tenaga angin.


Di Indonesia, satu-satunya wilayah yang menggunakan tegangan 600 kV adalah justru di Timika. Tapi, ini memang ”milik Amerika” juga karena khusus dipakai oleh Freeport. Yakni untuk mengalirkan listrik dari pembangkitnya yang di pinggir laut dekat kota Timika itu ke tambang emas di puncak gunung sejauh 60 km. Sedangkan di wilayah luar Jawa, umumnya hanya menggunakan tegangan 150 kV, bahkan ada yang masih menggunakan tegangan 70 kV.


Karena kabel listrik di rumah Anda hanya bertegangan 20 kV, maka listrik yang ”diangkut” dengan kabel 500 kV tersebut perlu disesuaikan. Listrik itu begitu mendekati kota harus diubah dulu menjadi tegangan lebih rendah. Harus secara bertahap. Tidak bisa dari 500 kV langsung ke 20 kV. Dari 500 kV ke 150 kV dulu.


Untuk memproses perubahan tegangan inilah, diperlukan gardu. Namanya Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi alias GITET. Lalu, diubah lagi dari 150 kV menjadi 20 kV di gardu lebih kecil yang disebut gardu induk (GI).


Gardu di Cawang Jakarta yang terbakar dan membuat Jakarta heboh sekarang ini adalah GITET sekaligus GI. Lantaran konsumen yang dilayani oleh GITET Cawang itu sangat besar, maka di dalam GITET Cawang itu juga harus besar. Di dalam GITET Cawang tidak cukup hanya berisi satu trafo. Harus dua trafo. Kalau satu, tidak cukup. Dua saja sudah hampir tidak cukup sehingga, sebenarnya, sudah waktunya ditambah satu lagi. Nah, dari dua trafo yang sudah hampir tidak cukup itulah, salah satunya terbakar. Sebagian wilayah Jakarta harus padam. Heboh.


Tapi, mengapa memperbaikinya perlu waktu lebih dari satu bulan? Membuat kehebohan di Jakarta tidak segera reda? Mengapa orang Jakarta tidak sesabar orang-orang di luar Jawa yang listriknya sudah bertahun-tahun mati terus? Mengapa di luar Jawa tidak heboh? (Yang luar Jawa ini sebenarnya heboh juga. Tapi, karena letaknya jauh dari Jakarta, maka hebohnya tidak sampai ke telinga pusat kekuasaan. Seperti menguap ditelan gelombang laut Jawa).


Kalau saja di Cawang itu ada trafo cadangan, sebenarnya langsung sudah bisa diatasi. Masalahnya, Cawang tidak punya trafo cadangan. Jangankan cadangan, yang ada itu saja sudah ”Senin-Kemis”. Posisinya sudah rawan karena tingkat pemakaiannya sudah di atas 90 persen semua. Bukan hanya Cawang, seluruh GITET di Indonesia tidak lagi memiliki cadangan! Semua cadangan sudah dipakai. Padahal, di sekitar Jakarta saja terdapat sekitar 12 GITET yang keadaannya semuanya kurang lebih sama gawatnya.


Untung, sebelum ini, Surabaya masih punya satu trafo cadangan. Letaknya di GITET Krian, sekitar 25 km dari Surabaya. Cadangan inilah yang harus dibongkar untuk dikirimkan ke Cawang.


Kelihatannya simpel: bongkar, kirim, lalu pasang. Pelaksanaannya tidak semudah itu.


Satu trafo itu beratnya 160 ton! Membongkarnya saja memerlukan waktu enam hari. Trafo cadangan tersebut memang dalam keadaan sudah terpasang di GITET. Bukan di gudang. Untuk mengirimkannya ke Cawang, diperlukan waktu sangat lama. Karena beratnya 160 ton, tidak banyak jembatan yang kuat dilalui. Padahal, ada berapa ratus jembatan seperti itu antara Krian sampai Bekasi?


Karena itu, pengirimannya pun harus melalui laut. Dari Krian harus diangkut ke Pelabuhan Tanjung Perak dulu. Jarak yang hanya 25 km itu harus ditempuh dalam waktu 12 jam! Panjang kendaraan yang digunakan untuk mengangkutnya pun hampir 200 meter. Bayangkan kalau barang sebesar itu harus jalan darat dari Surabaya ke Jakarta. Bisa tiga bulan baru sampai. Berapa juta pengguna jalan yang menyumpah-nyumpah karena kemacetan yang dibuatnya.


Jalan laut satu-satunya pilihan. Apalagi, ketika diangkut, barang tersebut tidak boleh terlalu miring ke kanan atau ke muka. Tidak mungkin boleh melewati tanjakan gunung di dekat Batang (Jateng) itu.


Ada problem berat lainnya yang sulit diatasi. Posisi oli yang ada di dalam trafo tersebut tidak boleh goyang. Jangan kaget! Di dalam satu trafo itu terdapat 200 drum oli! Ketika trafo diangkut, oli tersebut memang bisa dikurangi agar berat trafonya berkurang. Tapi, tidak boleh dikurangi banyak-banyak. Tidak boleh sampai batas peralatan yang seumur hidupnya harus tenggelam di dalam oli itu. Oli hanya boleh dikurangi sedikit. Dan yang disebut sedikit itu adalah 40 ton! Ruang kosong akibat pengurangan oli itu pun harus diisi nitrogen.


Tanpa oli itu, peralatan di dalamnya akan terbakar. Oli inilah yang dalam keadaan trafo dipakai harus selalu dikontrol. Kalau warna olinya sudah pink, berarti sudah waktunya ada perawatan. Harus ada upaya tertentu untuk menjaga oli agar tetap berwarna kebiru-biruan. Perawatan memang titik sentral yang penting untuk menjaga gardu tetap sehat. Kalau warna yang sudah pink itu dibiarkan, fungsi oli yang semula menjadi isolator dan pendingin akan berubah 360 derajat, justru menjadi penyulut kebakaran.


Sebagai orang luar, saya tidak tahu apakah soal perawatan itu yang menyebabkan gardu Cawang terbakar. Atau karena seringnya ada gangguan sehingga gulungan-gulungan benda yang ada di dalamnya melonggar pelan-pelan, lalu terjadilah hubungan perselingkuhan pendek. Atau penyebab yang lain lagi. Misalnya, gempa bumi. Kalaupun yang terakhir itu penyebabnya, masih ada pertanyaan susulan: mengapa GITET lainnya tidak terganggu?


Biarlah PLN yang menjawab itu.


Yang jelas, dalam posisi trafo di semua GITET sudah mendekati batas maksimum, sebaiknya PLN memang punya trafo cadangan. Tidak perlu yang paling ideal dulu, di mana setiap GITET punya satu cadangan yang sudah terpasang. Itu akan sangat mahal. Satu trafo harganya bisa 20 juta dolar AS atau sekitar Rp200 miliar. PLN yang dalam keadaan rugi dan menerima subsidi sekitar Rp60 triliun per tahun belum waktunya seideal itu.


Cukup dulu kalau trafo cadangan tersebut dua saja. Tidak perlu dalam keadaan terpasang agar bisa dimobilisasi dengan cepat. Satu taruh di Jakarta dan satu di Surabaya. Kalau ada trafo yang terbakar lagi, cadangan itulah yang dimobilisasi.
Trafo cadangan ini satu keniscayaan. Kalaupun benar-benar belum punya uang, belilah dari China. Lebih murah. Tinggalkan cara berpikir orang kaya yang manja. Jangan maunya terus-menerus beli ”Mercy”, sementara kemampuannya hanya beli Kijang. Cara berpikir itulah yang sudah terlalu lama memanjakan PLN. Ini gara-gara di masa lalu (Orba) PLN selalu dapat fasilitas enak pinjaman luar negeri. Yakni pinjaman yang wujudnya harus berupa barang yang kelasnya kelas Mercy. Kian mahal barangnya kian menyenangkan rupanya baik bagi yang meminjami maupun yang dipinjami.


Mental itu harus berubah. Mengapa beli Mercy 10 kalau uangnya cukup untuk beli Kijang 100? Bukankah fungsinya sama? Memang analogi ini tidak sepenuhnya benar. Tidak ada trafo kelas Kijang di dunia ini. Tapi, ada kelas Camry atau Renault. Apalagi hanya untuk cadangan. Kalaupun uang juga belum cukup untuk beli Camry, kalau perlu belilah ”Camry” bekas. Jangan rakyat jadi korban ”mental orang kaya”.


Yang penting, trafo cadangan itu cukup untuk digunakan enam bulan. Sekadar untuk menunggu yang asli diperbaiki. Kalau masih bisa diperbaiki. Memperbaiki sebuah trafo sebesar itu perlu waktu empat bulan. Dalam kasus tertentu, biaya memperbaikinya bisa 40 persen dari biaya beli baru. Tapi, ini satu keniscayaan.


Masih banyak hal yang lebih mendasar, yang lebih hebat, yang harus berubah di PLN. Apa saja? Tidak hari ini. Tulisan ini sudah terlalu panjang. ***


batam pos

Sabtu, 14 November 2009

Dua Pilihan Akal Sehat Plus Satu Gila

Rabu, 18 November 2009




Pertanyaan: Indonesia begitu kaya gas. Mengapa PLN sampai tidak bisa mendapatkan gas? Sehingga sebagian pembangkitnya, sekitar 5.000 MW, harus diberi ”minum” solar yang dalam setahun menghabiskan uang PLN Rp80 triliun?
Urusan ini rumitnya bukan main. Memang yang berhak mengatur perdagangan gas adalah pemerintah. Mestinya pemerintah bisa mengaturnya lebih baik. Tapi, saya masih belum tahu siapa yang disebut pemerintah itu. Yang jelas, pemilik-pemilik ladang gas adalah perusahaan swasta. Asing maupun domestik.


Para pemilik ladang gas tentu ingin menjual gasnya dengan harga terbaik.


Sebab, investasi untuk menemukan ladang gas tidak sedikit. Maka, PLN harus bersaing dengan pembeli-pembeli lain: pedagang luar negeri maupun pedagang dalam negeri seperti Perusahaan Gas Negara (PGN).


Keinginan lain para pemilik ladang gas adalah ini: pembeli harus mengambil semua gas yang dihasilkan suatu sumur, berapa pun jumlahnya. Di sini PLN ditakdirkan kurang bisa fleksibel. Sebuah pembangkit listrik tentu sudah didesain memerlukan gas sekian MMBTU (Million Metric British Thermal Unit). Sedangkan produksi sebuah sumur gas kadang kurang dari kebutuhan itu dan kadang sedikit kelebihan.


Dalam hal produksi sebuah sumur gas kelebihan, katakanlah 15 persen, dari kebutuhan sebuah pembangkit listrik, dilema muncul: dibeli semua PLN rugi, tidak dibeli semua pemilik sumur gas rugi.


Maka, mestinya, tidak ada jalan lain kecuali ada kerja sama yang sangat khusus antara PLN dan PGN. Kalau PLN mendapatkan sumur gas yang produksinya kelebihan, kelebihan itu bisa disalurkan ke PGN. Sebaliknya, kalau produksi sebuah sumur gas kurang dari jumlah yang diinginkan PLN, PGN yang harus menambah.


Sampai sekarang kerja sama seperti itu rasanya belum ada. Egoisme setiap perusahaan masih sangat menonjol. Padahal, dua-duanya milik pemerintah.


Memang itu saja belum cukup. PGN adalah juga sebuah perusahaan yang harus berlaba. Apalagi, sekarang sudah menjadi perusahaan publik. PGN sendiri kekurangan gas untuk melayani pelanggannya. Baik pelanggan rumahan dan terutama pelanggan industri. Maka, terjadilah persaingan ketat antara PLN dan PGN sebagai sama-sama pembeli gas dari ladang migas. Persaingan ini yang sampai sekarang belum mendapatkan jalan keluar.


Tentu ada yang berdoa agar kedua perusahaan itu jangan cepat-cepat rukun. Para pedagang solar (di dalam maupun di luar negeri) yang setiap tahun mengeruk uang PLN sampai Rp80 triliun akan kehilangan bisnis yang mengilap dari pedagangan solar. Bahwa itu membuat PLN dan pemerintah sulit, yang kurang pintar kan PLN dan pemerintah sendiri.


Tentu ide yang paling realistis adalah membangun LNG-gasifikasi terminal. PLN atau investor yang bekerja sama dengan PLN diminta membangun terminal LNG-gasifikasi. PLN atau investor bisa membeli LNG (Liquefied Natural Gas atau gas alam cair) dari mana saja dalam jumlah yang pas untuk kepentingan PLN. Bisa dari Tangguh di Papua, bisa dari Senoro di Luwuk (Sulteng) bisa juga dari Qatar atau Iran. Atau dari tempat lainnya.


LNG itulah yang kemudian diubah menjadi gas di sebuah terminal LNG-gasifikasi. Terminal ini bisa dibangun di sekitar Cilegon. Bahkan, sudah pula ada teknolgi baru: terminalnya dibuat terapung di lepas pantai Jakarta. Agar dekat dengan “PLTG salah makan” yang sekarang membuat masalah itu.


Saya tidak melihat jalan lain. Hanya dua itulah jalan keluarnya: kerja sama yang baik dengan PGN atau membangun terminal LNG-gasifikasi. Yang pertama harus difasilitasi pemerintah dan yang kedua harus difasilitasi pemerintah.


Memang masih ada jalan lain. Tapi, terlalu radikal. Lelang saja PLTG-PLTG itu! Daripada bikin penyakit yang mengisap darah keuangan pemerintah. Hasil lelang barang bekas itu untuk dibelikan PLTU bekas yang direkondisi seperti baru.


Jalan ”gila” itu bisa menyelamatkan uang negara setidak-tidaknya Rp10 triliun/setahun. Baca: 10.000.000.000.000/setahun. Kalau saja di swasta dan saya yang menjadi pemiliknya, saya akan lakukan yang terakhir ini.


Masih ada penghematan lain yang juga triliunan rupiah. Tapi, dua seri tulisan ini saja sudah bisa menggambarkan mengapa PLN mengalami kesulitan selama ini. Dan mengapa sulit pula dipecahkan. ***

Kamis, 17 Desember 2009

krisis global

Kecenderungan perekonomian global yang membaik telah memberikan dampak positif terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Dampak penguatan permintaan negara mitra dagang, terutama China dan India, mendorong peningkatan kinerja ekspor Indonesia terhadap beberapa komoditas ekspor seperti CPO, batubara, dan tembaga. Meski terus membaik, belum pulihnya perekonomian global menyebabkan kinerja ekspor yang masih mengalami kontraksi. Dari sisi permintaan domestik, perlambatan konsumsi swasta dapat tertahan oleh pengeluaran terkait penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres), serta adanya realisasi pembayaran gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil. Dalam kondisi permintaan yang masih lemah dan tingkat utilisasi kapasitas yang masih rendah, kegiatan investasi masih terbatas. Mencermati perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi selama Triwulan II Tahun 2009 diprakirakan berada pada kisaran 3,7% - 4,0%.

Secara regional, dampak krisis global pada perekonomian Sulawesi Utara hingga Triwulan II Tahun 2009 relatif minimal. Hal ini terindikasi dari beberapa promp indikator dan hasil survey yang dilaksanakan oleh Kantor Bank Indonesia Manado. Adapun kegiatan ekonomi yang terkena dampak significant dari krisis ekonomi global adalah kegiatan ekspor. Namun demikian, optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan turun terlalu dalam masih tetap ada seiring dengan digelarnya even bertaraf internasional di Kota Manado selama triwulan laporan yaitu World Ocean Conference (WOC) dan CTI – Summit pada Mei 2009, yang diharapkan mampu mendorong kegiatan konsumsi. Mengacu berbagai kondisi tersebut maka perkirakan minimal laju pertumbuhan ekonomi Sulut pada Triwulan II Tahun 2009 adalah 7,4% (y.o.y).

Secara umum, tekanan harga barang dan jasa di Kota Manado selama Triwulan II Tahun 2009 memperlihatkan adanya penurunan dibandingkan periode-periode sebelumnya. Pada Juni 2009, inflasi kota Manado tercatat 2,25% (y.o.y), lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan lalu yang tercatat sebesar 8,85% (y.o.y) dan periode yang sama tahun lalu sebesar 13,18% (y.o.y). Demikian pula jika dibandingkan dengan laju inflasi nasional yang sebesar 3,65% (y.o.y) maka laju inflasi Kota Manado masih lebih rendah. Berdasarkan penyebabnya, laju inflasi dapat disumbangkan oleh faktor non fundamental yaitu tekanan inflasi volatile food dan administered prices, serta faktor fundamental berupa inflasi inti yang terdiri dari ekspektasi inflasi, tekanan sisi permintaan, dan output gap. Trend penurunan inflasi ini tidak terlepas dari keadaan perekonomian dunia yang cenderung melambat sebagai dampak dari krisis ekonomi global. Faktor paling utama adalah dampak turunnya harga minyak dan komoditas pertanian dunia. Selain itu tekanan inflasi yang terus menurun juga disebabkan oleh hilangnya dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dari angka inflasi tahunan (harga BBM dinaikkan pada minggu terakhir bulan Mei 2008). Peningkatan harga minyak dunia sampai pada level diatas $70/barrel di bulan Juni 2009 belum dirasakan pengaruhnya terhadap inflasi nasional, hal ini dikarenakan pemerintah sampai saat ini masih belum merespon kenaikan tersebut yang ditunjukkan oleh tidak berubahnya harga BBM dalam negeri.

Beberapa indikator kinerja perbankan di Sulut pada Triwulan II Tahun 2009 masih menunjukkan trend perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari perlambatan pertumbuhan dari total dana pihak ketiga (DPK) dan kredit yang disalurkan oleh bank. Walaupun angka nominal kredit dan DPK menunjukkan adanya peningkatan (y.o.y), namun jika dilihat dari persentase pertumbuhannya cenderung mengalami penurunan. Total aset masih mengalami pertumbuhan yang lebih besar bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Fungsi intermediasi perbankan dinilai masih berjalan cukup baik bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya walaupun dengan peningkatan yang tidak terlalu signifikan, namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya Loan To Deposit Ratio (LDR) perbankan menunjukkan adanya penurunan. Masih meningkatnya LDR ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah kredit yang sedikit lebih signifikan dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh perbankan. Peningkatan tipis pada LDR juga diikuti oleh penurunan pada Non Performing Loan (NPL) perbankan.

Label

  • p (1)
Powered By Blogger

Cari Blog Ini