Selasa, 22 Desember 2009

Menkeu: Target Privatisasi BUMN Sulit Tercapai

Menteri Keuangan (Menkeu) dan Pemberdayaan BUMN Prijadi Praptosuhardjo
mengakui, target penerimaan dari privatisasi BUMN sebesar Rp 6,5
trilyun akan sulit dicapai. Sementara itu, untuk RAPBN 2001,
pemerintah menargetkan defisit anggaran bisa ditekan menjadi 3,7
persen, dari sebelumnya 4,8 persen pada APBN 2000.

Prijadi mengemukakan hal itu pada rapat kerja dengan Panitia Anggaran
DPR yang dipimpin Ketua Panitia Anggaran DPR Sukowaluyo Mintorahardjo
di Jakarta, Senin (4/9), dan membahas Rancangan APBN (RAPBN) 2001.
Menurut Menkeu, target privatisasi sulit dicapai, karena prosesnya
dipengaruhi faktor yang tidak dapat dikontrol, antara lain kondisi
sosial politik, keamanan, dan makro-ekonomi yang belum kondusif.

Penyataan Prijadi tentang tidak tercapainya target privatisasi BUMN
itu adalah pengakuan resmi pemerintah yang pertama. Pasalnya, hingga
beberapa hari sebelum diganti, Rozy Munir, yang menjabat sebagai
Menteri Negara Penanaman Modal/Pembinaan BUMN sebelumnya, masih
menyatakan optimis target tersebut akan bisa dicapai, meski-pun banyak
pengamat dan kalangan DPR menyangsikannya.

Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Rizal Ramli pada jumpa pers
di Bappenas, Senin, tetap menyatakan optimis target privatisasi BUMN
untuk tahun ini akan tercapai. Saat dikonfirmasikan bahwa Menkeu
sendiri yang mengatakan target privatisasi BUMN sulit dicapai, Rizal
hanya menjawab, siapa pun boleh-boleh saja menilai seperti itu.

"Saya kira kami akan melakukan seoptimal mungkin. Kasih kami waktu
dong, we'll do that," ujar Rizal Ramli saat ditanya apa yang akan
dilakukan jika target privatisasi BUMN tidak tercapai.

Lebih murah

Kepada anggota Panitia Anggaran DPR, Menkeu mengemukakan, kondisi
sosial politik, keamanan, dan kondisi makro- ekonomi yang belum
kondusif mempengaruhi minat investor dalam proses privatisasi BUMN.
"Jika dengan kondisi yang tidak kondusif tersebut pemerintah tetap
akan melaksanakan privatisasi BUMN, kemungkinan harga saham akan lebih
murah dari yang diperhitungkan semula," kata Prijadi.

Sementara itu, berkaitan dengan privatisasi BUMN, Rizal mengatakan,
privatisasi akan bernilai tambah jika didahului oleh restrukturisasi
industri.

"Di seluruh dunia, saat ini sektor yang paling menarik adalah
telekomunikasi. Kalau kita jual saham telekomunikasi sedikit demi
sedikit, nilai tambahnya tidak besar. Perusahaan telekomunikasi itu
akan kita restrukturisasi, nanti kita jual kepada operator
internasional lewat tender. Jika ini berjalan efektif, memperoleh dana
3 milyar-4 milyar dollar AS dari telekomunikasi bukanlah hal yang
sulit," kata Rizal.

Stimulus fiskal

Sementara mengenai RAPBN 2001, Menkeu mengatakan, untuk mengusahakan
penurunan defisit anggaran dari di bawah lima persen terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) menjadi berimbang atau surplus, dalam penyusunan
RAPBN 2001 pemerintah akan mengupayakan penurunan defisit pada tingkat
yang aman.

Defisit akan diturunkan dari 4,8 persen terhadap PDB dalam APBN 2000
menjadi sekitar 3,7 persen dari PDB pada tahun 2001, sebagaimana
tercantum dalam sasaran proyeksi APBN Tahun Anggaran 2000-2002 dalam
Nota Keuangan dan APBN 2000.

Ditegaskan Menkeu, penurunan defisit anggaran ini menjadi salah satu
fokus kebijakan pengelolaan keuangan negara, yang semula menempuh
kebijakan stimulus (fiscal stimulus), menuju kemampuan fiskal yang
berkelanjutan (fiscal sustainability).

Fokus berikutnya, kata Menkeu, adalah meningkatkan mobilisasi
pembiayaan dalam negeri melalui privatisasi BUMN dan pemulihan aset
program restrukturisasi perbankan. Berbarengan dengan itu, juga akan
dilakukan pengembangan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri baru
berupa obligasi pemerintah yang dipasarkan melalui pengembangan pasar
obligasi pemerintah.

Sedangkan fokus ketiga, pemerintah akan menurunkan secara bertahap
beban pinjaman luar negeri dan rasionya terhadap PDB pada tingkat yang
aman, serta mengelola utang pemerintah secara transparan menuju
tercapainya kesinambungan utang (debts sustainability).

Tantangan utama

Diungkapkan oleh Prijadi, tantangan utama dalam pengelolaan keuangan
negara adalah mewujudkan APBN yang makin sehat dengan mengurangi
defisit anggaran di satu pihak, sementara di lain pihak tetap mampu
mendukung proses pemulihan ekonomi dan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.

"Mengingat pinjaman luar negeri sebagai cara pembiayaan defisit
anggaran, yang selama dua tahun terakhir ini terus membengkak dan
tidak dapat dibiarkan terus-menerus membebani pembayarannya di masa
datang, maka cara terbaik yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan
pengeluaran dengan penerimaan dalam negeri. Sebab itu, akan dilakukan
penggeseran fokus kebijakan pengelolaan keuangan negara," tandasnya.

Tantangan ini, kata dia, akan dicapai melalui peningkatan pendapatan
negara di sektor pendapatan perpajakan maupun pendapatan negara bukan
pajak (PNPB).

Di pihak lain, peningkatan PNBP akan diupayakan dengan identifikasi
dan penyetoran dana-dana yang selama ini belum tercatat secara
transparan dalam APBN ke kas negara. Efektivitas belanja negara juga
akan diusahakan dengan mengurangi secara bertahap beban subsidi,
menekan biaya restrukturisasi perbankan, serta mempertajam prioritas
belanja modal.

Asumsi ekonomi

Asumsi ekonomi untuk RAPBN 2001 yang pernah diajukan pemerintah Mei
2000 lalu, menurut Prijadi, masih relevan digunakan sampai sekarang.

Secara makro-ekonomi, ungkap Prijadi, pertumbuhan ekonomi dalam
semester II 1999/ 2000 (Oktober 1999-Oktober 2000) mencapai 4,09
persen. "Jika kecenderungan ini bisa dipertahankan, maka pertumbuhan
ekonomi tahun 2000 diperkirakan mencapai empat persen atau bahkan
lebih, sehingga lebih tinggi dari perkiraan semula sebesar 3,8
persen," katanya.

Tingkat inflasi Januari-Agustus 2000 mencapai 4,71 persen. Pada
Agustus 2000, tingkat inflasi sebesar 0,51 persen. "Jika kecenderungan
ini terus terjadi, maka tahun ini inflasi mencapai sekitar tujuh
persen. Namun, dengan rencana kenaikan BBM dan hari-hari besar
Desember, inflasi akan lebih tinggi dari tujuh persen," ujarnya.

Nilai tukar rupiah yang cenderung melemah pada akhir Agustus mulai
menguat menjadi sekitar Rp 8.200-Rp 8.300/ dollar AS. Menyangkut harga
minyak di pasar internasional, pada triwulan II tahun 2000 mencapai
26,38 dollar/barrel. Namun, pada tahun sebelumnnya rata-rata hanya
17,47 dollar/barrel, bahkan tahun 1998 hanya 12,28/barrel.

Sedangkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka tiga
bulan per Agustus 2000 mencapai 13,29 persen. "Suku bunga ini relatif
lebih tinggi dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Salah satu faktor
yang mempengaruhinya adalah terjadinya fluktuasi dollar AS yang tidak
terduga sebelumnya," jelasnya.

Revisi inflasi

Secara terpisah, Pjs Gubernur Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution
mengatakan, BI pasti akan merevisi target inflasi karena keadaan
ternyata sudah tidak sesuai lagi. Pada awalnya, BI menargetkan inflasi
tahun ini sebesar 5-7 persen. "Prediksinya antara 7-8 persen, dari
sebelumnya 5-7 persen. Jelas akan direvisi karena faktanya sudah tidak
bisa dipertahankan dan banyak hal yang terjadi di luar dugaan,"
ujarnya.

Namun demikian, Nasution belum dapat memastikan pada angka berapa
revisi tersebut akan diterapkan karena masih banyak hal yang tidak
menentu, seperti pengurangan subsidi BBM. "Mungkin nanti setelah LoI
(letter of intent) ditandatangani dan Menteri Keuangan mengajukan
perubahan RAPBN. Kita tunggu kebijakan pemerintah apa saja yang akan
disubsidi, baru revisi inflasi dapat ditetapkan ," lanjut Nasution.

Selain revisi inflasi, Nasution juga mengatakan, nilai tukar rupiah
terhadap dollar yang sebelumnya dipatok pada level Rp 7.000 per dollar
AS juga harus direvisi. Menurut Nasution, rupiah sewajarnya berada
pada level di bawah Rp 8.000 per dollar AS. Dia juga mengakui, ada
banyak sekali faktor yang perlu dipertimbangkan seperti kondisi
politik. (har/fey/joe/dis)



Date: Mon Sep 04 2000 - 16:26:05 EDT
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0009/05/UTAMA/menk01.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

  • p (1)
Powered By Blogger

Cari Blog Ini